LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PENGOLAHAN DAGING

Mata Kuliah    : Teknik Pengolahan Daging   Nama Dosen   : M. Sriduresta s, S.Pt, M.Sc
Hari/ Tanggal  : Kamis/18 Februari 2016        Nama Asisten  :
Kelompok       : 1                                                        1. M. Abdul Rachman (D14110002)   
Praktikum ke : 2                                                         2. Meydy Anjasari     (D14120002)
                                                                                    3. Sunarya                 (D14120105)



ANALISA SIFAT FISIK DAGING
Liana Sahertian
D14140066











DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016





PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani. Daging memiliki mutu protein yang sangat tinggi dan memiliki kandungan asam amino essensial yang lengkap dan seimbang. Protein pada daging lebih mudah dicerna dibanding dengan protein nabati, oleh sebab itu protein hewani lebih baik dibanding protein nabati. Daging memiliki beberapa komponen penyusun yaitu terdiri dari lemak, protein, abu, dan air. Komposisi pada daging bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, umur, pakan yang dikonsumsi, dan bangsa ternak (Khatimah 2000)
            Daging merupakan bahan pangan yang dikaitkan dengan pemenuhan kesenangan dalam penciptaan variasi produk daging. Untuk memenuhi kebutuhan dalam daging yang bermutu, perlu adanya pemahaman mengenai sifat fisik dan kimia pada daging. Sifat fisik daging memegang peranan yang penting dalam proses pengolahan, hal ini dikarenakan sifat fisik sangat menentukan kualitas daging. Sifat fisik daging sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah pemotongan (Anjarsari 2010). Faktor sebelum pemotongan yang mempengaruhi sifat fisik daging yaitu, faktor genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan,  dan bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres dan kelelahan. Sedangkan faktor sesudah pemotongan yang mempengaruhi sifat fisk daging yaitu, metode pelayuan, metode pemasakan, marbling, pH daging, bahan tambahan pangan, metode penyimpanan dan pengawetan, serta letak otot pada daging (Astawan 2004). Oleh sebab itu untuk menghasilkan produk olahan daging yang berkualitas perlu adanya pemahaman mengenai sifat fisik dan kimia daging, penanganan dan cara mengolah yang benar.

Tujuan
            Praktikum ini bertujuan untuk mengetahuai dan menganalisa sifat fisik pada daging, uji sensori daging yang benar, serta mengetahui cara mengolah daging dengan benar dengan mengeahui ciri-ciri daging yang yang layak atu tidak untuk dikonsumsi.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging Segar
            Daging segar adalah daging yang telah mengalami perubahan fisiko-kimia setelah pemotongan, tetapi belum mengalami pengolahan lebih lanjut sepeti pembekuan, penggaraman, pengasapan dan lain sebagainya. Daging segar memiliki warna merah tua, lemaknya berwarna kekuningan, tekstur dagingnya kenyal dan padat, berbau khas daging, berserat halus dan sedikit berlemak, tidak mudah keluar air dan berlendir. Warna pada daging ditentukan oleh adanya Fe, yang merupakan inti dari myoglobin protein yang berbentuk gelembung-gelembung heme.

pH Daging
            pH pada daging sangat berpengaruh terhadap kualitas daging. Terbentuknya  asam laktatbpada daging dapat menyebabkan penurunan pH daging, dan menyebabkan protein otot rusak. Setelah hewan dipotong persediaan oksigen otot berhenti, dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot, hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan pH. pH pada daging dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan. Penurunan pH pada daging berbeda-beda untuk setiap jenis urat daging. Nilai pH daging akan semakin rendah jika hewan sebelum dipotong mengalami stress dan akan menghasilkan daging yang pucat. Semakin rendah pH daging maka akan semakin rendah pula kalitasnya (Komariah et al. 2009).

Daya Mengikat Air daging (DMA)
            Perlakuan jenis ternak dan lama postmortem berpengaruh nyata (pb<0,05) terhadap daya mengikat air daging, tetapi tidak teradapat inetraksi diantara kedua perlakuan tersebut. Semakin tinggi daya mengikat air pada daging, maka nila mgH2O akan semakin rendah. Daging segar memiliki daya mengikat air yang lebih tinggo dibandingkan dengan daging yang sudah tidak segar atau dapat pula dinamakan daging postrigor. Mayoritas air didalam otot terdapat didalam myofibril, yaitu antara myofibril dan sarkolema serta diantara otot dan kumpulan otot. Jumlah air pada daging akan berubah-ubah tergantung pada banyaknya jeringan otot itu sendiri, kandungan protein myofibrillar dan cara penanganannya (Lonergan 2005).
            Protein pada daging berperan dalam megikat air daging. Kadar protein daging yang tinggi akan meningkatkan daya menahan air pada daging, sehingga akan men urunkan kandungan air bebas dan begitu pula sebaliknya semakin rendah kandunagn protein daging maka akan semakin rendah pula daya mengikat airnya. Menurut lawrie (2003), semakin banyak air yang keluar pada daging maka akan semkain ren dah daya mengikat airnya. Selain kandungan protein daging, pH daging juga mempengaruhi DMA daging, apabila pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1) maka DMA akan tinggi.

Susut Masak Daging
            Susut masak daging merupakan persentase berat daging yanghilang akibat pemanasan. Daging yang susut masaknya yang rendah memiliki kualitas yang baik daripada daging yang susut masaknya tinggi. Hal ini dikarenakan kehilangan nutrisi selama proses pemasakan lebih rendah. Menurut Lawrie (2003), nilai susut masak daging cukup bervariasi yaitu antara 1,5-54,5%. Besarnya susut masak juga dipengaruhi oleh membran selular, banyaknya air yang keluar, degradasi protein, dan DMA daging. Selain itu susut masak daging  juga dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur dan waktu pemanasan maka akan semakin maka akan semakin besar air yang keluar dari daging hingga mencapai titik yang konstan. Sust masak daging berbanding terbalik dengan DMA daging, semakin tinggi susut masak maka DMA daging rendah dan sebaliknya semakin rendah susut masak maka DMA daging tinggi (Lawrie 2003). Besarnya nilai susut masak pada daging juga dipengaruhimoleh pH daging, karena DMA juga dipengaruhi oleh pH. Apabilka nilai pH lebih tinggi dari titik isoelektrik maka susut masak akan rendah (Soeparno 2005).



Keempukan Daging
Keempukan pada daging merupakan faktor yang sangat penting untuk memikat konsumen, karena konsumen lebih suka daging yang empuk dibandingkan dengan daging yang alot. Keempukan daging merupakan indikator dan faktor utama pertimbangan bagi konsumen dalam memilih daging yang berkualitas baik (Bredhal dan Poulsen 2002). Perlakuan jenis ternak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap keempukan daging. Selain itu, lama postmortem dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap keempukan daging. Kriteria daging yang empuk memiliki daya putus warner blatzer < 4,15 kg/cm2, daging agak empuk 5,08-<7,56 kg/cm2, daging agak alot 7,56-<9,27 kg/cm2, dan daging sangat alot > 10,97 kg/cm2 (Suryati dan Arief 2005). Nilai keempukan daging dipengaruhi oleh faktor penanganan ternak sebelum dipotong, pakan ternak, pH dan perlemakan (Fiems et al. 2000). Komponen utama daging yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serat daging, dan lemak yang berhubungan dengan otot (Kuntoro et al. 2013).

Warna Daging
            Warna daging yang disukai oleh konsumen adalah merah tua, yang menunjukkan mutu daging. Warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesie, pakan, umur, bangsa, jenis kelamin, keadaan stres, pH dan oksigen dalam daging. Penentuan warna daging didasarkan pada konsentrasi myoglobin, kondisi fifik dan kimia, serta serta komponen lainnya pada daging. Myoglobin akan mengalami perubahan pada potongan daging yang berwarna gelap.  Warna gelap pada daging karena mempunya pH postmortem dan daya mengikat air yang tinggi serta memiliki tekstur yang lekat. Warna gelap pada daging berhubungan tidak langsung dengan pH dan berhubungan erat dengan respirasi mitokondrial, sehingga konsentrasi myoglobin merah terang tetap rendah. Perbedaan warna daging ternak disebabkan oleh myoglobin yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur ternak (Soeprano 2005).



Marbling daging
            Marbling merupakan lemak intramuscular yang berada pada daging. Marbling pada daging dipengaruhi oleh kandungan energi yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Jumlah murbling pada daging menentukan kelembutan, intensitas rasa, dan juicinesspada saat dimasak (Pollan 2006). Hal tersebut dikarenakan  murbling membuat asam lemak dalam daging mengalami perubahan kimia yang kompleks pada saat dipanaskan. Perubahan kimia tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di daging, dan menghasilkan cita rasa yang gurih dan enak. Pakan ternak yang memiliki nutrisi yang tinggi akan menghasilkan murbling yang baik (Soeprno 2005). Skor murbling terdiri dari tiga kategori yeitu, kategori I skor 9-12 termasuk kategori daging dengan lemak yang tinggi, kategori II skor 5-8 termasuk daging dengan kategori lemak sedang, kategori III skor 1-4 merukan daging dengan kategori lemak sedikit (Riyanto 2001).

Warna Lemak
            Lemak daging merupakan komponen daging yang sangat diperlukan untuk mempengaruhi rasa dan tekstur pada daging. Lemak daging pada sapi yang msih muda berwarna putih dan pada sai yang tua warna lemak kekuningan. Lemak yang ideal dan baik yaitu lemak yang berwarna putih. Lemak daging dapat membantu membantuk dalam hal keempukan daging, juiciness, tastiness. Lemak daging akan meleleh jika dipanaskan (Soeparno 2005).










MATERI DAN METODE


Alat
            Praktikum analisis sifat fisik daging menggunakan beberapa alat yaitu terdiri dari pH meter daging, timbangan digital (sartorius), carper press, planimeter, thermometer bimetal, corer, warner blatzer, kompor gas, panci, hobart fat percentage, meat colour score, dan murbling card score.
Bahan
            Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan abon terdiri dari daging sapi sebagai sampel, larutan buffer pH 7 dan 4 yang digunakan untuk kalibrasi alat pH meter daging, tissue, kertas saring, dan whattman 41.
Prosedur
            Analisis sifat fisik daging terdiri atas beberapa bagian, yaitu cara mengukur pH daging, keempukan daging, susut masak daging, persentase lemak daging, warna daging, dan persentase warna lemak dan murbling daging sapi. Prosedur yang pertama yaitu pengukuran pH daging, dilakukan dengan cara daging ditusuk dengan pH meter daging secara berulang-ulang hingga diperoleh nilai pH yang akurat, kemudian baca dan catat nilai pH-nya.
            Prosedur mengukur daya mengikat air (DMA) daging dilakukan dengan cara sampel ditimbang terlebih dahulu sebanyak 3 g menggunakan timbangan digital, kemudian diletakkan diantara dua kertas saring dan di pres menggunakan carper press selama 5 menit. Setelah selesai dipres akan tampak dua lingkaran pada kertas saring yang menunjukkan luas area daging yang dipres. Kemudian kertas saring dikeringkan dan diberi tanda dengan bolpoin. Kemudian luas area kertas saring tersebut diukur menggunakan plannimeter. Cara perhitungan menggunakan plannimeter dapat dilakukan dengan cara memberi tanda pada kedua lingkaran tersebut yaitu terdiri dari lingkaran dalam (LD) dan lingkaran luar (LL) sebagai titik awal perhitungan. Kemudian titik tengah diletakkan pada kaca pembesar pada plannimeter tepat pada lingkaran LL dan LD.  Kemudian perhitungan dilakukan pada titik awal dengan membaca angka-angka yang tertera pada plannimeter  sebagai perhitungan awal. Setelah itu kaca pembesar diputar searah jarum jam mengikuti lingkaran yang telah ditandai dengan bolpoin hingga sampai ke titik awal, hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga diadapat nilai yang akurat. Kemudian selisih antara hitungan akhir dan hitungan awal pada kedua lingkaran tersebut dihitung menggunakan rumus luas area basah yaitu (selisih LL- selisih LD)/100. Setelah luas area basah diperoleh, kemudian nilai tersebut dimasukkan kedalam rumus mgH2O yaitu (6,45-8/0,0945). Setelah jumlah air bebas diketahui, kemudin perhitungan selanjutnya yaitu persentase air bebas yaitu (mgH2O/300 ×100%).
            Prosedur analisis keempukan daging dilakukan dengan cara menyiapkan terlebih dahulu sampel daging dengan berat ±100 g. Kemudian air direbus hingga mendidih dan daging yang telah ditusuk dengan termometer bimetal dimasukkan hingga susu dalam daging mencapai suhu 81C, lalu diangkan dan didinginkan. Kemudian daging dipotong serah dengan serat daging menggunakan corer hingga beberapa kali pemotongan. Kemudian sampel daging diletakkan pada warner blatzer stear force device. Alat tersebut akan memotong sampel daging dan jarumnya akan berputar sesuai dengan angka keempukan dan kealotan pada daging tersebut. Setelah itu akan diketahui apakh daging tersebut termasuk empuk atau alot.
            Prosedur susut masak daging dilakukan dengan cara menyiapkan sampel yang akan diuji dengan berat ±100 g. Kemudian air direbus hingga mendidih dan daging yang telah ditusuk dengan termometer bimetal dimasukkan hingga susu dalam daging mencapai suhu 81C, lalu diangkan dan didinginkan. Kemudian daging ditimbang hingga beratnya konstan. Persentase susut masak dapat dihitung dengan rumus (berat awal-berat akhir) /berat awal ×100%. Kemudian akan diketahui susut masak dari daging tersebut.
            Prosedur perhitungan persentase lemak dengan cara sampel daging dicincang dan digiling terlebih dahulu dan ditimbang seberat 56,7 g. Kemudian sampel dibentuk seperti donat dengan diameter 9 cm. Setelah itu diletakkan pada atas tatakan yang berlubang-lubang dan berbentuk lingkaran yang terletak pada Hobart Fat Percentage Device. Kemudian mesin disambungkan ke power supply pada tegangan 110 volt. Pereparat sampel diletakkan diatas corong yang tersedia dimana dibawah tabung corong sudah terpasang sudah terpasang tabung reaksi untuk menampung cairan yang keluar dari sampel. Kemudian turner diatur selama 15 menit dan akan secara otomatis alat akan langsung bekerja. Setelah 15 menit. Mesin akan berbunyi sebagai tanda bahwa proses pemanasan telah selesai. Bagian bawah cairan merupakan bagian endapan padatan, bagian tengah air, dan bagian atas adalah lemak. Kemudian persentase lemak dapat dihitung.
            Prosedur yang terakhir yaitu pengukuran warna dagingdan warna lemak dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan sampel daging dengan tingkat murbling, warna daging (meat colour) dan warna lemak (fat colour) dan score card. Kemudin dapat diketahui score dari daging tersebut.






















HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Mutu fisik pada daging dapat diketahui dengan cara menganalisis sifat fisik pada daging. Sifat fisik tersebut meliputi pH daging, daya mengikat air, keempukan, susut masak, persentase lemak, warna daging, warna lemak, dan murbling pada daging, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Analisis sifat fisik daging
Kelompok
pH
DMA(%)
Susut masak           (%)
Keempukan
1
5,59
60,71
-28,91
4,7
2
5,57
80,22
39,19
6,13
3
5,45
51,86
10,67
7,53
4
5,15
55,95
25,85
6,3
5
5,45
60,48
9,69
7,57
6
5,44
53,23
42,97
5,4
Rata-rata
60,41
60,41
16,47
6,27
Keterangan; 0-3:empuk; 3-6: sedang; >6:alot.
            Selain analisis sifat fisik daging, untuk mengetahui mutu fisik daging juga dapat dilakukan dengan cara uji organoleptik sifat fisik daging yaitu terdiri dari warna daging, murbling, dan warna lemak yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2 Uji organoleptik sifat fisik daging
Kelompok
Warna daging
Murbling
Warna lemak
1
6,5
2,5
6,2
2
4,81
1,72
6,72
3
6,4
2,1
6,7
4
5,125
2,9
7
5
4,6
2,6
5,4
6
6,3
2,5
6,7

Pembahasan

            Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno 2005). Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, karena mengandung protein yang cukup tinggi dengan kandungan asam amino esensial yang lengkap. Selain itu daging merupakan komoditi pertanian yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi (Anjarsari 2010). 
            Daging merupakan peoduk hasil ternak yang mudah mengalami kerusakan karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi. Oleh karena ituperlu dilakukan pengolahan dan pengawetan dengan baik dan aman sehingga daging dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dan memiliki nilai tambah yang cukup tinggi. Sebelum daging diolah menjadi produk terlebih dahulu harus mengetahui mutu dan kualitas daging yang berkualitas dan layak untuk dikonsumsi, untuk mengetahui kualitas dan mutu daging dapat dikethui dengan analisa sifat fisik dan uji organoletik daging. Sifat fisik daging memegang peranan penting dalam proses pengolahan karena sifat fisik menentukan kualitas dan jenis olahan daging yang akan dibuat (Komariah et al. 2009).
            Analisa sifat fisik daging meliputi beberapa bagian, yaitu mengukur pH daging, daya mengikat air (DMA), keempukan daging, susut masak daging, persentase lemak daging, warna daging, warna lemak dan murbling pada daging. pH daging yang diperoleh dari hasil praktikum mulai dari kelompok 1 sampai 6 secara berurutan yaitu, 5,59, 5,57, 5,45, 5,15, 5,45, 5,44 dan diperoleh nilai rata-rata pH daging sebesar 5,44. Nilai pH daging yang diperoleh cukup rendah karena nilai pH daging yang baik yaitu 7-7,2 (Lawrie 2003). Rendahnya nilai pH daging yang diperoleh menunjukkan bahwa daging tersebut kalitasnya rendah. Nilai pH daging dipengaruhi oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan oleh glikogen selama proses glikolisi anaerob. pH akan semakin rendah pada hewan yang mengalami stres sebelum pemotongan (Komariah et al. 2009). Penurunan pH daging dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi spesies, jenis otot, glikogen otot, dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pH daging yaitu temperatur linkungan, perlakuan adanya bahan tambahan sebelum pemotongan, dan stres sebelum pemotongan. Perbedaan nilai pH daging dipengaruhi oleh perbedaan kandungan glikogen dari setiap jenis daging sehingga kecepatan glikolisisnya berbeda. Kadar glikogen yang semakin rendah mengakibatkan lambatnya proses glikolisis dan pH akan semakin rendah (Komariah et al. 2009).
            Perlakuan jenis ternak dan lama fase postmortem berpengaruh terhadap daya mengikat air daging. Nilai daya mengikat air yang diperoleh dari hasil praktikum dari kelompok 1 sampai 6 secara berturut-turut, yaitu 60,71%, 80,22%, 51,85%, 55,95%, 60,48%, 52,23% dan rataan nilai yang diperoleh sebesar 60,41%. Nilai DMA yang diperoleh sebagian cukup tinggi dan sebagiannya lagi rendah. Tingginya nilai DMA pada daging menunjukkan bahwa daging tersebut berkualitas. DMA sangat dipengaruhi oleh jenis daging dan pH daging.
Nilai DMA pada daging akan meningkat seiring dengan penurunan nilai pH, dan semakin tinggi nilai DMA semakin rendah pula nilai mgH2O. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai DMA berbanding terbalik dengan nilai pH dan mgH2O. Daging yang berkualitas memilki kandungan protein yang cukup tinggi. Tinggi kandungan protein dalam daging akan meningkatkan kemampuan daya mengikat air pada daging. Hal tersebut disebabkan karena daging tersusun atas otot, sedangkan otot tersusun atas protein, sehingga kandungan protein yang tinggi akan menurunkan kandungan air bebas sehingga DMA akan tinggi. Selain itu, penurunan dan peningkatan DMA daging juga dipengaruhi oleh pembentukan actomyosin pada daging (Hamm 1960).
            Selain DMA daging susut masak dan keempukan daging juga mempengaruhi kualitas paa daging. Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan. Nilai susut masak yang diperoleh dari hasil praktikum yaitu, -28,91%, 39,19%, 10,67%, 25,83%, 9,69%, 42,37% dan nilai rata-rata yang diperoleh sebesar 16,47%. Nilai sust masak daging yang diperoleh oleh kelompok 1 yaitu -28,9%, data tersebut tidak valid. Hal tersebut terjadi karena adanya kesalahan dalam melakukan praktikum dan kurang ketelitian dalam perhitungan sehingga nilai yang diperoleh tidak lazim dan mempengaruhi nilai rataan susut masak yang diperoleh. Daging yang memiliki nilai susut masak yang rendah menunjukkan bahwa daging tersebut berkualitas, sedangkan daging yang susut masaknya tinggi kualitasnya rendah. Hal ini karena daging yang susut msaknya rendah kehilangan nutrisinya lebih sedikit dibanding dengan daging yang susut masaknya tinggi.
            Menurut Soeparno (1994), pada umumnya susut masak daging bervariasi antara 1,5% – 54,5%. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan bayaknya air yang terikat didalam dan diantara otot daging. Nilai susut masak daging berbanding terbalik dengan DMA daging, yaitu jika nilai DMA tinggi maka nilai susut masak akan rendah dan sebaliknya jika susut masak tinggi maka nilai DMA akan rendah. Selain DMA, pH juga mempengaruhi nilai susut masak daging. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging  (5,0 – 5,1), maka nilai susut masak daging akan rendah. Nilai susut masak daging juga mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi nilai susut masak daging maka keempukan daging akan rendah dan sebaliknya jika nilai susut masak rendah maka keempukan daging akan tinggi.
            Keempukan daging merupakan salah satu dari faktor utama penentu kualitas daging. Keempukan daging yag diperoleh dari hasil praktikum yaitu 4,7, 6,13, 7,53, 6,3, 7,57, 5,4 dan diperoleh nilai rataannya sebesar 6,27. Keempukan yang baik yaitu 0-3, sedangkan 3 – 6 kategori sedang dan >6 kategori daging yang alot. Menurut Lawrie (2003), penyebab utama kealotan pada daging adalah terjadinya pemendekan otot pada saat prose rigormortis. Hal tersebut diakibatkan karena ternak mengalami stres dan banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot daging yang memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan sarkomer yang pendek dan lebih banyak mengandung kompleks actomyosin atau ikatan antar filamen, sehingga menyebabkan daging menjadi alot (Soeparno 1994).
Nilai daya putus daging yang dipotong menggunakan watner blatzer akan menunjukkan akan menunjukkan tingkat keempukan daging. Praktikum kali ini masing-masing kelompok menggunakan tiga sampel daging sapi yang telah dipotong menggunakan Corer. Kemudian hasil dari sampel tersebut dihitung rataannya. Proses pelayuan pada daging akan menurunkan daya putus watner blatzer, sehingga keempukan daging akan meningkat, pengaruh pelayuan dan peregangan otot akan meningkat jika dilakukan pemasakan. Keempukan daging juga dapat dipengaruhi oleh tekstur daging dan jenis daging, semakin halus tekstur daging maka daging akan semakin empuk (Soeparo 2005).
            Hasil pengamatan yang diperoleh oleh masing-masing kelompok, nilai pH yang paling baik adalah pada kelompok 1 yaitu 5,59, DMA yang baik yaitu pada kelompok satu yaitu 60,71%, susut masak yang paling baik yaitu pada kelompok 5 dengan nilai 9,69%, dan keempukan daging yang paling baik yaitu pada kelompok 1 dengan nilai terendah yaitu 4,7.
            Analisa sifat fisik daging juga dapat dilakukan dengan cara uji organoleptik sifat fisik daging, yang meliputi warna daging, warna lemak, dan marbling. Hasil praktikum yang dilakukan oleh masing – masing kelompok yaitu warna daging secara berturut – turut dari masing – masing kelompok yaitu 6,5, 4,81, 6,4, 5,125, 4,6, dan 6,3. Murbling  secara berturut – turut 2,5, 1,72, 2,1, 2,3, 2,6, dan 2,5 serta warna lemak secara berturut – turut 6,2, 6,72, 6,7, 7, 5,4 dan 6,7. Warna daging, warna lemak, dan murbling dari masing – masing kelompok berbeda. Hal ini dikarenakan penilaian dilakukan secara subyektif, sehingga diperoleh hasil yag berbeda – beda, selain itu hal ini merupakan penilaian secara kualitatif yang yang tidak dapat diukur menggunakan angka melainkan menggunakan pendapat  pribadi dan respon indera.
            Daging yang berkualitas memiliki warna merah tua. Warna pada daging dipengaruhi oleh pigmen myoglobin yang terkandung dalam daging. Warna daging yang gelap mempunyai pH postmortem dan daya ikat air tinggi. Murbling merupakan garis – garis tipis dan bintik – bintik lemak putih pada potongan daging yang biasanya dinamakan lemak intramuscular. Murblingyang baik akan berwarna putih kekuningan yagb bearsal dari sapi muda, sedangkan murbling pada sapi tua akan berwarna kekuningan. Jumlah murbling pada daging menentukan kelembutan instensitas rasa dan juiciness daging pada saat dimasak (Polland 2006).
            Menurut Trantono (2011), kualitas pada daging dipengaruhi oleh beberapa faktor baik padahewan sebelum dan sesudah dipotong. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging sebelum dipotong yaitu tipe ternak, jenis kelamin, umur, dan cara pemeliharaan yag meliputi manajemen pemberian pakan dan kesehatan, sedangkan kulaitas daging sesudah dipotong dipengaruhi oleh metode pemasakan, pH daging, hormon, dan metode penyimpanan. Kulitas daging dapat dilihat dari rasa, aroma, perlemakan, dan tekstur pada daging.
             


























SIMPULAN

Uji kualitas mutu fisik daging dapat dilihat dari nilai pH, daya mengikat air (DMA) dan keempukan daging. Semakin tinggi nilai pH maka susut masak daging akan turun, DMA tinggi keempukan daging tinggi dan susut masaknya rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa daging tersebut berkualitas. Selain itu, mutu daging juga dapat diketahuai dengan uji organoleptik daging yag meliputi warna daging, warna lemak, dan murbling pada daging.






















DAFTAR PUSTAKA


Anjarsari B. 2010. Pangan Hewani: Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Bandung (ID): GRAHA ILMU.
Astawan P D. 2004. Pentingnya mengkonsumsi daging. [internet]. [diunduh pada 29 Februari 2006]. Tersedia pada : http:// Peternakantaurus.Wordpress.com/ 2010/07/26 pentingnya – mengkonsumsi – daging.
Bedhal L dan Polsen C S. 2002. Perception of pork and mortem pig breeding among Danish consumers. Project Paper. No.01/02. ISSN 09072101. New York (USA): The arhus School of business.
Fiems. 2000. Relationship between fat depots in carcass of beef bulls and effect on meat colour and tenderness. Journal Meat Science. Vol 56: 41-47.
Hamm R. 1960. In physical, chemical, and biologycal changes in food caused by thermal processing. Journal Applied Science. London (UK): Vol 68: 243 – 248.
Komariah, Rahayu S, dan Sarjito. 2009. Sifat fisik daging sapi, kerbau, dan domba pada lama postmortem yag berbeda. Buletin Peternakan, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Vol 33. No. 03: 183 – 189.
Kuntoro B, Maheswari RRA, dan Nuraini H. 2013. Mutu fisik dan mikrobiologi daging sapi asal rumah potong hewan (RPH) kota Pekan Baru. Jurnal Peternakan. Vol 10. No 01: 1 – 8.
Lawrie R A. 2003. Meat Science Edisi Keenam. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Lonergen EHT, Mitshuhashi DD, Beekman FC, Parish DG, Olson, dan Robson RM. 1996. Proteclysis of specific Muscle structural protein by U- calpation at low pH and temperature is similar to degradation in posmortem bovine muscle. Journal nimal Science. Vol 74: 993 – 1008.
Polland M. 2006. Dilema Omnivora. New York (USA): The Pinguins Pr.
Riyanto J. 2001. Karakteristik kualitas fisik dan nutrisi daging sapi PO pada berbagai macam otot. Buletin Peternakan Edisi Tambahan. Hlm 232 – 240.
Shanks B C, Wolf DM, dan Maddock R J. 2002. The effect of freezing on warner blatzer stear force values of beef Longissimus steak acros, several postmortem aging periods. Journal Animal Science. Vol 80: 2122 – 2125.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
Trantono Y. 2008. Bangsa-Bangsa Sapi Potong. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Universisty Pr.























LAMPIRAN




Komentar

Postingan populer dari blog ini